Jumat, 20 Desember 2019

TEORI BELAJAR BRUNER


Pada kesempatan ini kita akan membicarakan tentang kesiapan siswa belajar serta cara pembelajarannya pada mata pelajaran matematika di SD. Kita akan melihat secara sepintas beberapa teori belajar yang sering disebut- sebut pada pembelajaran matematika.
Pada kenyataannya di antara para ahli teori belajar masih belum ada kesepahaman tentang bagaimana anak belajar dan cara-cara  pembelajarannya. Walaupun demikian bukanlah suatu kendala bagi kita untuk mempelajarinya, sebab banyak faedahnya dalam pembelajaran matematika khususnya di SD. Selain itu pada umumnya penyampaian bahan ajar kepada para siswa termasuk pembelajaran matematika biasanya didasarkan pada teori-teori belajar yang dianggap sesuai oleh guru, pengelola pendidikan termasuk penyusun dan pengembang kurikulum.


1.            Teori Belajar Bruner

Jerome S. Bruner dari Universitas Harvard menjadi sangat terkenal dalam dunia pendidikan umumnya dan pendidikan matematika khususnya. la telah menulis hasil studinya tentang “perkembangan belajar”, yang merupakan suatu cara untuk mendefinisikan belajar. Bruner menekankan bahwa setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa atau benda di dalam lingkungannya, menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa atau benda tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa atau benda yang dialaminya atau dikenalnya.
Menurut Bruner, hal-hal tersebut dapat dinyatakan sebagai proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:


a.    Tahap Enaktif atau Tahap Kegiatan (Enactive)
Tahap pertama anak belajar konsep adalah berhubungan dengan benda- benda real atau mengalami peristiwa di dunia sekitarnya. Pada tahap ini anak masih dalam gerak reflek dan coba-coba; belum harmonis. Ia memanipulasikan, menyusun, menjejerkan, mengutak-ngatik, dan bentuk-bentuk gerak lainnya (serupa dengan tahap sensori motor dari Peaget).


b.  Tahap Ikonik Atau Tahap Gambar Bayangan (Iconic)
Pada tahap ini, anak telah mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Dengan kata lain anak dapat membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialami atau dikenalnya pada tahap enaktif, walaupun peristiwa itu telah berlalu atau benda real itu tidak lagi berada di hadapannya (tahap pre-operasi dari Peaget).

c.   Tahap Simbolik (Symbolic)
Pada tahap terakhir ini anak dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simbol dan bahasa. Apabila ia berjumpa dengan suatu simbol maka bayangan mental yang ditandai oleh simbol itu akan dapat dikenalnya kembali. Pada tahap ini anak sudah mampu memahami simbol-simbol dan menjelaskan dengan bahasanya. (Serupa dengan tahap operasi konkret dan formal dari Peaget)

Selanjutnya, apa yang dapat kita terapkan dari teori Bruner ini dalam merancang pembelajaran matematika di SD? Jika kita perhatikan dari ketiga tahap belajar di atas maka jelas bahwa untuk memudahkan pemahaman dan keberhasilan anak pada pembelajaran matematika haruslah secara bertahap. Sebenarnya ketiga tahapan belajar dari Bruner ini sudah sejak lama kita terapkan pada pembelajaran matematika di SD, misalnya seperti berikut ini.

Tahap 1. Setiap kita melakukan pembelajaran tentang konsep, fakta atau prosedur dalam matematika yang bersifat abstrak biasanya diawali dari persoalan sehari-hari yang sederhana (peristiwa di dunia sekitarnya), atau menggunakan benda-benda real/nyata/fisik. (Kita mengenalnya sebagai model konkret).

Tahap 2. Setelah memanipulasikan benda secara nyata melalui persoalan keseharian dari dunia sekitarnya, dilanjutkan dengan membentuk modelnya sebagai bayangan mental dari benda atau peristiwa keseharian tersebut. Model (Model matematika) di sini berupa gambaran dari bayangan. (Model semi konkret atau model semi abstrak).



Tahap 3. Pada tahap ke-3 yang merupakan tahap akhir haruslah digunakan simbol-simbol (lambang-lambang) yang bersifat abstrak sebagai wujud dari bahasa matematika (Model abstrak).

Agar lebih jelas kita perhatikan contoh pembelajaran matematika di SD yang melalui tiga tahapan tersebut di atas. Misalnya kita akan menjelaskan operasi hitung (pengerjaan) penjumlahan pada anak-anak SD kelas 1.

Tahap 1, Dimulai dari model konkret, yaitu menggunakan benda-benda nyata dalam hal ini “buku” seperti berikut. “Tati mempunyai 3 buku, diberi lagi 2 buku oleh Ibunya, berapa buah banyaknya buku Tati sekarang?”.

Tahap 2, langkah berikutnya dibuatkan modelnya, yaitu model semi konkret (model gambar) yang tidak menggunakan benda-benda nyata seperti buku sebenarnya, tetapi cukup dengan gambar buku atau model semi abstrak (model diagram), yang tidak lagi dengan gambar tetapi cukup menggunakan tanda-tanda tertentu seperti turus (tally) atau bundaran dan sebagainya.

Tahap 3, bisa digunakan simbol secara abstrak dan mereka akan dapat mengerti arti tiga dan arti dua tanpa bantuan apa apa. Tahap terakhir merupakan wujud dari pembelajaran matematika sebagai bahasa simbol yang padat arti dan bersifat abstrak.
3 buku + 2 buku = … buku 3 + 2 = n

Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran matematika, Bruner dan kawan-kawannya telah melakukan pengamatan terhadap sejumlah besar kelas matematika. Berdasarkan hasil percobaan dan pengalamannya itu, Bruner dan Kenney telah merumuskan 4 teorema (dalil/kaidah) pada pembelajaran matematika, yaitu sebagai berikut.

a.   Teorema Penyusunan (Teorema Konstruksi)
Menurut teorema penyusunan, bahwa cara yang terbaik memulai belajar suatu konsep matematika, dalil atau aturan, definisi dan semacamnya adalah dengan cara menyusun penyajiannya. Bruner percaya adalah sebaiknya untuk siswa memulai dengan penyajian konkret, kemudian mencoba ide itu sebagai fasilitator disusunnya sendiri mengenai ide itu di sini guru sifatnya hanyalah membantu. Dengan cara itu siswa akan lebih mudah mengingat ide yang sudah dipelajari dan lebih mampu dalam menerapkan pada suasana lain. Jika guru yang menyusun dan merumuskannya, sedangkan siswa menerima dalam bentuk jadi, maka cenderung mengurangi motivasi belajar siswa.
Anak yang mempelajari penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif, akan lebih memahami konsep tersebut jika ia mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan konsep penjumlahan tersebut. Misalnya, untuk memahami konsep penjumlahan tersebut kita tentukan 4 + (-3) = 0. Siswa diminta untuk mencobanya sendiri bahwa pada garis bilangan mulai dari titik 0 bergeser ke kanan sejauh 4 satuan, dilanjutkan dengan bergeser ke kiri sejauh 3 satuan dan berakhir di titik -1. Dengan mencoba menjumlahkan untuk berbagai bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif lainnya siswa dapat diharapkan betul- betul memahami konsep tersebut.

b.    Teorema Notasi
Teorema notasi menyatakan bahwa dalam pengajaran suatu konsep, penggunaan notasi-notasi matematika harus diberikan secara bertahap, dimulai dari yang sederhana yang secara kognitif dapat lebih mudah dipahami para siswa sampai kepada yang semakin kompleks notasinya. Sebagai contoh, siswa SD belum siap menggunakan notasi y = f (x) untuk menyatakan konsep fungsi. Untuk siswa di usia SD cara yang lebih baik untuk mengajarkan konsep fungsi adalah dengan menggunakan notasi seperti  = 2 D + 5 dengan   dan D merupakan bilangan-bilangan asli. Sedangkan bagi para siswa pada permulaan kelas Aljabar akan mampu memahami penyajian konsep fungsi tersebut dengan menggunakan notasi y = 2x + 5. Baru untuk para siswa pada Aljabar lanjut digunakan notasi y = f(x) atau {(x,y)/y = f(x) = 2x + 5, x, y Î R) untuk menyatakan suatu konsep fungsi.
Urutan pembelajaran matematika tentang penggunaan notasi ini merupakan gambaran pendekatan spiral yang merupakan konsekuensi dari teorema Bruner ini. Pendekatan spiral dipakai pada pembelajaran matematika termasuk dalam anjuran pembelajaran matematika di SD menurut Kurikulum SD yang berlaku. Pada dasarnya pembelajaran dengan pendekatan spiral adalah cara memperkenalkan suatu konsep matematika dimulai secara intuisi dengan menggunakan notasi yang telah dikenal dan konkret. Kemudian dari bulan demi bulan, tahun demi tahun, waktu demi waktu, sesudah siswa matang secara intelektual, konsep yang sama diajarkan lagi pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi dengan menggunakan notasi yang kurang dikenal, yang lebih abstrak untuk pengembangan pembelajaran matematika.

c.   Teorema Pengontrasan dan Keanekaragaman (Teorema Kontras dan Variasi)
Teorema ini mengatakan bahwa prosedur penyajian suatu konsep dari yang konkret ke yang lebih abstrak harus dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan beraneka ragam. Pada pembelajaran matematika hampir semua konsepnya mempunyai sedikit arti bagi para siswa, sebelum mereka pertentangkan (dikontraskan) dengan konsep-konsep lainnya. Karena itulah pada pembelajaran matematika perlu adanya pengontrasan. Misalnya busur, jari-jari, garis tengah, tali busur, tembereng, juring dari suatu lingkaran semuanya akan lebih bermakna apabila mereka dipertentangkan satu sama lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak konsep matematika didefinisikan sesuai dengan sifat pertentangan itu. Bilangan prima dengan bilangan komposit, bilangan ganjil dengan bilangan genap, bilangan positif dengan bilangan negatif, bilangan rasional dengan bilangan irasional dan sebagainya.
Selain pengontrasan, pada pembelajaran matematika perlu adanya penyajian yang beraneka ragam (bervariasi). Misalnya konsep lingkaran diperkenalkan dengan menggunakan benda-benda berbentuk silinder, kerucut, cincin, roda, gelang, dan gambar-gambar lingkaran dengan berbagai ukuran jari-jari. Konsep segitiga samasisi diperkenalkan dan kawat, karet gelang, pada papan berpaku, gambar segitiga samasisi berbagai ukuran dan berbagai posisi.



d.   Teorema Pengaitan (Teorema Konektivitas)
Menurut teorema ini bahwa setiap konsep, dalil dan keterampilan matematika berkaitan dengan konsep, dalil, dan keterampilan matematika lainnya. Begitu pula antara konsep, dalil, dan keterampilan satu dengan lainnya saling berkaitan. Lebih jauh lagi antara cabang-cabang matematika seperti Aljabar, Geometri, Aritmetika, kesemuanya saling berkaitan. Karena itulah pada pembelajaran matematika akan lebih berhasil bila para siswa lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut. Guru supaya dapat mengaitkan konsep yang satu dengan yang lainnya perlu mengkajinya dan mengaitkannya. Oleh karena itu, mengetahui bahwa keterkaitan suatu konsep dengan yang lainnya pada pembelajaran matematika adalah diutamakan.
Dari uraian di atas tentunya kita dapat memahami kalau Bruner menjadi terkenal dengan ide-idenya itu. Sebenarnya masih banyak lagi gagasan- gagasan dalam pembelajaran, misalnya pandangannya mengenai hakikat pertumbuhan intelektual yang membaginya ke dalam 6 sifat pertumbuhan. Kemudian ia memberikan pula dua sifat umum yang dipercayainya harus merupakan dasar teori umum pengajaran dan mendiskusikannya ke dalam 4 hakikat utama yang harus diberikan pada setiap teori pembelajaran. Pada kesempatan ini kita tidak akan membicarakannya, tetapi kita akan melihat beberapa teori belajar lain yang lebih berkaitan dengan pembelajaran matematika di SD.



Video Model Pembelajaran Bruner

0 komentar:

Posting Komentar