Pembelajaran matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu
menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya
antara hakikat anak dan hakikat matematika. Untuk itu diperlukan adanya
jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut. Anak
usia SD sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya. Ini karena
tahap berpikir mereka masih belum formal, malahan para siswa SD di kelas-kelas
rendah bukan tidak mungkin sebagian dari mereka berpikirnya masih berada pada
tahapan (pra konkret).
Di lain pihak, matematika adalah- ilmu deduktif, aksiomatik, formal,
hierarkis, abstrak, bahasa simbol yang padat anti dan semacamnya sehingga para
ahli matematika dapat mengembangkan sebuah sistem matematika. Mengingat adanya
perbedaan karakteristik itu maka diperlukan kemampuan khusus dari seorang guru
untuk menjembatani antara dunia anak yang belum berpikir secara deduktif agar
dapat mengerti dunia matematika yang bersifat deduktif.
Dari dunia matematika yang merupakan sebuah sistem deduktif
telah mampu mengembangkan model-model yang merupakan contoh dari sistem ini.
Model-model matematika sebagai interpretasi dari sistem matematika ini kemudian
dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan dunia nyata. Manfaat lain
yang menonjol dari matematika dapat membentuk pola pikir orang yang
mempelajarinya menjadi pola pikir matematis yang sistematis, logis, kritis
dengan penuh kecermatan. Namun sayangnya, pengembangan sistem atau model
matematika itu tidak selalu sejalan dengan perkembangan berpikir anak terutama
pada anak-anak usia SD. Apa yang dianggap logis dan jelas oleh para ahli dan
apa yang dapat diterima oleh orang yang berhasil mempelajarinya, merupakan hal
yang tidak masuk akal dan membingungkan bagi anak-anak. Hal ini pulalah yang menyebabkan pembelajaran
matematika di SD selalu menarik untuk dibicarakan.
Selain tahap perkembangan berpikir anak-anak usia SD belum formal dan
relatif masih konkret ditambah lagi keanekaragaman intelegensinya, serta jumlah
populasi siswa SD yang besar dan ditambah lagi dengan wajib belajar 9 tahun
maka faktor-faktor ini harus diperhatikan agar proses pembelajaran matematika
di SD dapat berhasil.
Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup
pada lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari
ilmu-ilmu yang kemudian. Kegunaan atau manfaat matematika bagi para siswa SD
adalah sesuatu yang jelas dan tidak perlu dipersoalkan lagi, lebih- lebih pada
era pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Persoalannya sekarang
adalah materi-materi mana yang diperlukan untuk anak-anak SD di kita, dan
bagaimana cara-cara pembelajarannya?
Khusus pada kesempatan ini yang akan dibicarakan yaitu materi-materi
seperti yang tercantum dalam kurikulum matematika SD yang berlaku. Namun, tidak
ada salahnya kita mengantisipasi dengan materi-materi yang kemungkinan
berkembang di kemudian hari sebagai akibat dari tuntutan iptek. Jadi, yang
menjadi bahasan kita sekarang ini adalah masalah pembelajarannya, yaitu
pembelajaran matematika di SD.
1. Anak sebagai Individu yang Berkembang
Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan anak itu berbeda dengan
orang dewasa. Hal ini tampak jelas baik pada bentuk fisiknya maupun dalam
cara-cara berpikir, bertindak, tanggung jawab, kebiasaan kerja, dan sebagainya.
Namun demikian masih banyak pendidik atau orang tua atau orang dewasa lainnya
yang beranggapan bahwa anak atau siswa itu dapat berpikir seperti kita sebagai
orang dewasa. Guru yang sedang membicarakan suatu konsep matematika sering
beranggapan bahwa siswanya dapat mengikuti dan melaksanakan jalan pikirannya
untuk memahami konsep- konsep matematika tersebut sebagaimana dirinya. Sesuatu
yang mudah menurut logika berpikir kita sebagai guru belum tentu dianggap mudah
oleh logika berpikir anak, malahan mungkin anak menganggap itu adalah sesuatu yang
sulit untuk dimengerti.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Jean Peaget dan teman-temannya
menunjukkan bahwa anak tidak bertindak dan berpikir sama seperti orang dewasa.
Lebih-lebih pada pembelajaran matematika di SD, sesuatu yang abstrak dapat saja dipandang sederhana menurut kita yang sudah formal,
namun dapat saja menjadi sesuatu yang sulit dimengerti oleh anak yang belum
formal. Oleh karena itulah, tugas utama sekolah ialah menolong anak
mengembangkan kemampuan intelektualnya sesuai dengan perkembangan intelektual anak.
Selain karakteristik kemampuan berpikir anak pada setiap tahapan
perkembangannya berbeda, kita perlu pula menyadari bahwa setiap anak merupakan
individu yang relatif berbeda pula. Setiap individu anak akan berbeda dalam hal
minat, bakat, kemampuan, kepribadian, dan pengalaman lingkungannya. Guru
sebagai petugas profesional, sebagai seorang pendidik yang melakukan usaha
untuk melaksanakan pendidikan terhadap sekelompok anak, tentunya harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh keadaan dasar anak didik tersebut.
Berbagai strategi pembelajaran dari teori-teori
pembelajaran matematika yang akan digunakan haruslah disesuaikan dengan
kondisi-kondisi tersebut di atas. Kesesuaian ini akan memungkinkan keefektifan
dan keefisienan dari usaha-usaha kita dalam pembelajaran matematika khususya di
SD.
2. Kesiapan Intelektual Anak
Para ahli jiwa seperti Peaget, Bruner, Brownell, Dienes percaya bahwa
jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu ke pada anak didik maka
kita harus memperhatikan tingkat perkembangan berpikir anak tersebut.
Jean Peaget dengan teori belajar yang disebut Teori
Perkembangan Mental Anak (mental atau intelektual atau kognitif) atau ada pula
yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berpikir Anak telah membagi tahapan
kemampuan berpikir anak menjadi empat tahapan, yaitu tahap sensori motorik
(dari lahir sampai usia 2 tahun), tahap operasional awal/pra operasi (usia 2
sampai 7 tahun), tahap operasional/operasi konkret (usia 7 sampai 11 atau 12
tahun) dan tahap operasional formal/operasi formal (usia 11 tahun ke atas).
Penelitian Peaget ini dilakukan di dunia Barat dengan sebaran umur
setiap tahap rata-rata atau di sekitarnya sehingga tidak menutup kemungkinan
ada perbedaan dengan masyarakat kita dan antara anak yang satu dengan yang
lainnya. Kita dapat menggunakannya sebagai patokan atau perkiraan, atau
berasumsi bahwa umur kesiapan dari setiap tahapan berlaku juga bagi anak-anak
kita.
Anak usia SD pada umumnya berada pada tahap berpikir operasional
konkret namun tidak menutup kemungkinan mereka masih berada pada tahap
pre-operasi. Sedangkan pada setiap tahapan ada ciri-cirinya sesuai umur
kesiapannya. Misalnya, bila anak berada pada tahap pre-operasi maka mereka
belum memahami hukum-hukum kekekalan sehingga bila diajarkan konsep penjumlahan
besar kemungkinan mereka tidak akan mengerti. Siswa yang berada pada tahap
operasi konkret memahami hukum kekekalan, tetapi ia belum bisa berpikir secara
deduktif sehingga pembuktian dalil-dalil matematika tidak akan dimengerti oleh
mereka. Hanya anak-anak yang berada pada tahapan operasi formal yang bisa
berpikir secara deduktif. Sedangkan khusus untuk tahapan sensori motor kita
abaikan saja sebab tidak ada kaitan langsung dengan pembelajaran matematika di sekolah.
Jadi, pada dasarnya agar pelajaran matematika di SD itu dapat
dimengerti oleh para siswa dengan baik maka seyogianya mengajarkan sesuatu
bahasan itu harus diberikan kepada siswa yang sudah siap untuk dapat
menerimanya. Karena itulah sekarang kita akan melihat untuk bisa mengetahui
tahapan perkembangan intelektual atau berpikir siswa di SD dalam pembelajaran matematika.
a. Kekekalan bilangan (banyak)
Bila anak telah memahami kekekalan bilangan maka ia akan mengerti bahwa
banyaknya benda-benda itu akan tetap walaupun letaknya berbeda- beda. Misalnya
mereka akan berpendapat bahwa banyaknya pensil yang disimpan secara berdekatan
dengan yang lebih renggang dan dijajarkan sama (perhatikan Gambar 1.1 a dan
Gambar 1.1b). Tetapi bila siswa menyatakan bahwa banyak pensil tersebut tidak
sama karena susunan atau cara menyimpannya berbeda sehingga kelihatannya
berbeda maka ia belum dapat memahami hukum kekekalan banyak (bilangan). Jadi,
ia belum waktunya mendapatkan pelajaran konsep penjumlahan atau operasi-operasi
hitung lainnya. Konsep kekekalan bilangan umumnya dicapai oleh siswa usia
sekitar 6 sampai 7 tahun.
Anak belum memahami hukum kekekalan materi atau zat akan berpendapat
bahwa banyaknya air pada ke-2 bejana (gelas) di sebelah kanan adalah berbeda
banyaknya (zat) walaupun ditumpahkan dari 2 bejana yang isinya sama. Pada
keadaan seperti ini anak baru bisa memahami yang sama atau berbeda itu dan satu
sudut pandangan yang tampak olehnya (perhatikan Gambar 1.2a dan Gambar 1.2b).
Belum bisa melihat perbedaan atau persamaan dari dua karakteristik atau lebih.
Siswa seperti ini akan dapat membedakan bilangan ganjil dengan bilangan genap,
tetapi akan memperoleh kesukaran ketika menentukan bilangan genap yang prima,
atau tiga buah bilangan ganjil positif yang habis di bagi tiga. Umumnya hukum
kekekalan materi ini baru dapat dicapai oleh siswa usia sekitar 7 - 8 tahun.
c. Kekekalan panjang
Anak yang belum memahami kekekalan panjang akan mengatakan bahwa dua
utas tali (kawat) yang tadinya sama panjangnya menjadi tidak sama panjang, bila
yang satu dikerutkan dan yang satunya lagi tidak. Ia cenderung berpendapat bahwa tali atau kawat yang tidak dikerutkan akan lebih panjang. Anak yang berpendapat demikian akan memperoleh kesukaran
dalam mempelajari konsep pengukuran, terutama pengukuran panjang benda- benda
yang tidak lurus. Siswa usia sekitar 8 - 9 tahun baru dapat memahami hukum
kekekalan tersebut (lihat Gambar 1.3a dan Gambar 1.3b).
Anak Yang belum memahami kekekalan luas cenderung untuk berpendapat
bahwa luas daerah yang ditutupi oleh benda-benda di sebelah kanan lebih luas,
padahal keduanya sama luasnya, hanya cara menyimpannya saja berbeda sehingga
kelihatannya berbeda. Pada tahapan ini siswa belum memahami bahwa luas daerah
persegipanjang PQRS adalah sama dengan luas daerah persegipanjang ABCD dan luas
daerah segitiga ABD adalah setengah luas daerah jajarangenjang ABCD. Seperti
halnya kita ketahui bahwa siswa usia sekitar 8 - 9 tahun baru dapat memahami
hukum kekekalan luas (perhatikan Gambar 1.4a, 1.4b, 1.5a, dan 1.5b).
Anak yang sudah memahami hukum kekekalan berat ia mengerti bahwa berat
benda itu tetap walaupun bentuknya, tempatnya, dan atau alat penimbangannya
berbeda-beda. Umumnya siswa pertengahan
SD sekitar 9 - 10 tahun sudah memahami hukum kekekalan
berat (Gambar l.6a dan Gambar 1.6b).
f. Kekekalan isi
g. Tingkat pemahaman
Tingkat pemahaman usia SD sekalipun di kelas-kelas akhir mereka tetap
terbatas. Mereka akan mengalami kesulitan merumuskan definisi dengan
kata-katanya sendiri. Mereka belum bisa membuktikan dalil secara baik. Apabila
mereka bisa menyebutkan definisi atau dapat membuktikan dalil secara benar maka
besar kemungkinan karena hapalan bukan pengertian. Mereka masih kesulitan
berpikir secara induktif apalagi secara deduktif, umumnya mereka berpikir
secara transitif (dari khusus ke khusus dan belum mampu membuat kesimpulan).
Mereka baru bisa menyatakan bahwa 2 + 0 =
2. 4 + 2 = 6; 6 + 4 = 10, 8 + 4 = 12 (secara transitif), tetapi mereka
belum mampu menyimpulkan secara induktif bahwa jumlah dua bilangan genap adalah
genap, apalagi membuktikan secara umum bahwa jumlah dua bilangan genap adalah
genap (deduktif).
Dari uraian di atas jelas bahwa anak itu bukanlah tiruan
dari orang dewasa. Anak bukan bentuk mikro dari orang dewasa. Anak-anak
mempunyai kemampuan intelektual yang sangat berbeda dengan orang dewasa.
Cara-cara berpikir anak berbeda dengan cara-cara berpikir orang dewasa.
Melihat secara singkat dari teori belajar Peaget ini
tentunya kita dapat mengambil manfaatnya dalam pembelajaran matematika di SD
yaitu, terutama tentang kesiapan untuk belajar dan bagaimana berpikir mereka
itu berubah sesuai dengan perkembangan usianya. Hal ini berarti bahwa strategi
pembelajaran matematika yang kita gunakan haruslah sesuai dengan perkembangan
intelektual atau perkembangan tingkat berpikir anak sehingga diharapkan
pembelajaran matematika di SD itu lebih efektif dan lebih hidup.
0 komentar:
Posting Komentar